BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah
Pada dasarnya, setiap individu mempunyai kemampuan untuk belajar. Proses semacam ini di alaminya semenjak ia lahir sampai tumbuh dewasa. Adanya suatu kegiatan belajar tidak lepas dari pada tujuan yang hendak dicapai yakni agar mampu mengadakan perubahan-perubahan dalam setiap perkembangannya yang ada. Perubahan-perubahan itu adalah keterampilan fisik, kognitif, dan sikap sebagai respons terhadap gejala di lingkungannya.
Adapun tantangan yang dihadapi dalam kegiatan belajar mengajar amat banyak sekali, khususnya pada lembaga pendidikan. Karena diharuskan atau dituntut agar siswa berhasil dalam studinya tersebut.
Kalau dilihat lebih jauh tentang berbagai upaya yang dilakukan dalam mengatasi masalah tersebut, seolah-olah masih terjadi ketidak puasan terhadap siswa dikarnakan tidak sesuai dengan tujuan belajar itu sendiri. Hal ini merupakan tanggung jawab kita bersama agar nantinya siswa dapat mengetahui serta memahami tentang terbagi metode yang harus ia jalani sehingga nantinya akan membuahkan hasil yang sangat memuaskan.
2. Rumusan Masalah
2.1. Mendeskripsikan konsep kematangan belajar.
2.2. Mengidentifikasi kematangan siswa sebagai penunjang keberhasilan belajar.
2.3. Mengidentifikasi pengembangan belajar siswa.
BAB II
KEMATANGAN BELAJAR
1. Konsep Dasar Kematangan Belajar
Kematangan (maturity) adalah suatu keadaan atau kondisi bentuk struktur dan fungsi yang lengkap atau dewasa pada suatu organisasi..[1] Kematangan membentuk sifat dan kekuatan dalam diri untuk bereaksi dengan cara tertentu yang disebut “Readiness” yang berupa tingkah laku, baik tingkah laku yang instingtif maupun tingkah laku yang dipelajari. Tingkah laku instingtif adalah suatu pola tingkah laku yang diwariskan melalui proses hereditas. Sedangkan maksud dari tingkah laku yang dipelajari yaitu orang tak akan berbuat secara intelijen apabila kapasitas intelektualnya belum memungkinkan.
Dari pemaparan diatas, dapat ditarik kesimpulan berdasakan karakteristiknya. meliputi:
1) Kematangan adalah merupakan suatu keadaan atau tahap pencapaian proses pertumbuhan atau perkembangan.
2) Kematangan dapat berarti matangnya suatu sifat atau potensi fisik yang menjadi secara kodrat akibat proses pertumbuhan dan hanya tergantung pada waktu belaka.
3) Kematangan juga dapat berarti matangnya suatu fungsi atau potensi mental psikologis akibat proses perkembangan karena pengalaman dan latihan
4) Kematangan potensi fisik dan mental psikologis itu merupakan suatu keadaan yang akan berfungsi sebagai prerequisite dalam proses perkembangan kearah pematangan fungsi atau potensi.
Dengan demikian, kematangan yang dimaksud adalah kematangan potensi fisik dan potensi mental psikologis yang telah dicapai dalam sutau tahap pertumbuhan atau perkembangan.
Sedangkan, belajar adalah kegiatan berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam penyelenggaraan setiap jenis dan jenjang pendidikan. Oleh karenanya, pemahaman yang mengenai arti belajar dengan segala aspek, bentuk, dan manifestasinya mutlak diperlukan oleh para pendidik. Kekeliruan dan ketidaklengkapan persepsi mereka terhadap proses belajar dan hal-hal yang berkaitan dengannya mungkin akan mengakibatkan kurang bermutunya hasil pembelajaran yang dicapai peserta didik.
Sebagaian orang beranggapan bahwa belajar adalah semata-mata mengumpulkan atau menghafalkan fakta-fakta yang tersaji dalam bentuk informasi/materi pelajaran. Disamping itu, ada pula yang memandang bahwa belajar adalah sebagai latihan belaka seperti tampak pada latihan membaca dan menulis. Untuk menghindari ketidaklengkapan persepsi tersebut , berikut ini akan disajikan beberapa definisi dari para ahli.
Skinner, seperi yang dikutip Barlow (1985) dalam bukunya Educational Psychology: The Teaching-learning Process, berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi (penyesuaian tingkah laku) yang berlangsung secara progresif.[2]
Chaplin(1972) dalam dictionary of Psychologymembatasi belajar dengan dua rumusan yaitu; Pertama, belajar adalah perolehan perubahan-perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai akibat latihan dan pengalaman. Kedua, belajar adalah proses memperoleh respons-respons sebagai akibat adanya latihan khusus.[3]
Menurut Wittig (1981) dalam bukunya Psychology of Learning mendefinisikan belajar sebagai perubahan yang relatif menetap yang terjadi dalam segala macam /keseluruhan tingkah laku suatu organisme sebagai hasil pengalaman. [4]
Dari Pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan, bahwa belajar adalah suatu proses adaptasi untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan latihan.
Dari definisi kematangan dan belajar diatas, dapat dideskripsikan bahwa kematangan belajar adalah suatu kondisi fisik dan mental yang matang pada seorang anak dalam penerimaan pengetahuan, pengalaman dan latihan. Kondisi fisik antara lain, kondisi mottorik dan sensorik siswa, seperti menulis dan mendengarkan pengarahan guru. Kondisi mental yaitu berkaitan dengan proses berfikir dan sikap siswa dalam merespons pelajaran. Jadi, salah satu tugas guru atau tenaga kerja pendidikan adalah mengidentifikasi kemampuan siswa pada tahap atau jenjang perkembangannya (kematangan) demi menunjuang keberhasilan siswa dalam belajar dan untuk menetapkan indikator yang harus dicapai oleh siswa.
Untuk mengetahui kondisi kematangan siswa dalam belajar pada tahap atau jenjang tertentu adalah mengidentifikasi perkembangan psiko-fisik siswa itu sendiri. Antara lain:
a. Perkembangan motorik
b. Perkembangan kognitif, dan
c. Perkembangan sosial dan moral (sikap)
2. Perkembangan Psiko-Fisik Anak atau Siswa
Sebelum mempelajarari perkembangan, yang perlu diingat adalah bahwa perkembangan dan pertumbuhan itu berbeda. Perkembangan ialah merupakan serangkaian perubahan progresif yang terjadi sebagai akibat dari proses kematangan dan pengalaman dan terdiri atas serangkaian perubahan yang bersifat kualitatif (E.B. Harlock).[5]
Sedangkan pertumbuhan ialah merupakan perubahan secara fiologis sebagai hasil dari proses pematangan fungsi-fungsi fisik, yang berlangsung secara normal pada diri anak yang sehat, peredaran waktu tertentu ( kartono ).[6]
Selanjutnya, pembahasan mengenai perkembangan ranah psikologi fisik pada bagian ini akan menyusun fokuskan pada proses perkembangan yang dipandang memiliki keterkaitan langsung dengan kegiatan belajar siswa. Proses-proses perkembangan tersebut meliputi:[7]
a. Perkembangan motorik (motor development)
b. Perkembangan Kognitif
c. Perkembangan Sosial dan moral (Psiko-sosial).
2.1. Perkembangan Motorik/Fisik Siswa
Dalam psikologi, kata motor diartikan sebagai istilah yang menunjuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya. Jadi, perkembangan motorik yaitu proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan anak.[8]
Menurut Gleitman, ada 2 bekal yang dibawa anak sejak lahir yaitu bekal kapasitas motor (jasmani) dan bekal kapasitas panca indra (sensorik).[9]
Bekal pertama yang dibawa anak adalah kapasitas motorik. Kapasitas motorik dapat mendorong anak untuk beraktivitas sebagaimana tugasnya dalam perkembangannya. Mula-mula seorang anak yang baru lahir hanya memiliki sedikit kendali terhadap aktivitas alat-alat jasmaniahnya. Setelah berusia empat bulan, bayi itu sudah mulai mampu duduk dengan bantuan sanggaan dan dapat meraih atau menggenggam benda-benda didekatnya.
Bekal kedua yang dibawa anak dari rahim ibunya ialah kapasitas sensorik. Kapasitas sensorik seorang bayi lazimnya mulai berlaku bersama-sama dengan berlakunya reflek-reflek motorik. Berkat adanya bekal sensorik ini, anak dapat memahami pembicaraan orang lain, mengutarakan keinginannya, mengingat kembali simbol-simbol atau benda yang telah diketahuinya, dan merasakan kesakitan dan kenikmatan dengan baik. Untuk itu pendidik harus membimbingnya dalam melakukan tugas perkembangannya tersebut.
Semua kapasitas yang dibawa anak dari rahim ibunya seperti pemaparan diatas adalah modal dasar yang tampak bermanfaat bagi kelanjutan perkembangannya. Dalam hal ini proses belajar keterampilan tertentu (khususnya di sekolah) merupakan pedukung yang sangat berarti bagi perkembangan fisik anak,terutama dalam perolehan kecakapan-kecakapan psikomotor atau ranah karsa anak tersebut.
Ketika seorang anak memasuki sekolah dasar pada umur 6-12 tahun, perkembangan fisiknya mulai tampak benar-benar proposional (berkeseimbangan). Artinya, organ-organ jasmani yang tumbuh serasi. Gerak-gerakan tubuh anak juga menjadi lincah dan terarah seiring dengan munculnya keberanian mentalnya. Contoh jika dalam usia belita atau usia anak TK tidak berani naik sepeda atau memanjat pohon dan melompati pagar, pada usia sekolah ia akan menunjukan keberanian melakukan itu. Gerakan tubuh anak ini disamping karena kemantangan fisiknya, juga disebabkan oleh adanya perkembangan mentalnya. Namun patut dicatat perkembangan seperti itu. Jikalau tidak ditunjang oleh dukungan proses belajar, Kematangan fisik tersebut akan kurang berarti dan tidak akan menjadikan keterampilan-keterampilan psikomotorik. Belajar keterampilan fisik (motor learning) dianggap telah terjadi dalam diri seseorang apabila ia telah memperoleh kemampuan atau kematangan fisik dan keterampilan yang melibatkan penggunaan tangan (seperti menggambar) dan tungkai(seperti berlari) secara baik dan benar.
Sehubungan dengan hal diatas, motor skill (kecakapan-kecakapan jasmani) perlu dipelajari melalui aktivitas latihan langsung yang disertai dengan pengajaran teori-teori pengetahuan yang bertalian dengan motor skill itu sendiri. Semantara itu, aktivitas latihan perlu dilaksanakan dalam bentuk praktek yang berulang-ulang oleh siswa, termasuk praktek contoh gerakan-gerakan yang salah dan dibutuhkan, sehingga siswa dapat memahami bagian mana yang keliru, kemudian upaya perbaikan seyogyanya segera dilakukan. Akan tetapi, dalam praktek itu hendaknya dilibatkan pengetahuan ranah akal siswa. Praktek tanpa melibatkan ranah akal umpamanya insight (tilikan akal) siswa yang memadai terhadap teknik dan patokan kinerja yang diperlukan, maka praktek tersebut tak dapat dipandang bernilai dan hanya ibarat orang yang sedang senam beramai-ramai belaka.
2.2. Perkembangan Kognitif Siswa
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) ialah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan. Dalam perkembangan selanjutnya, istilah kognitif menjadi populer sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan. Ranah kejiawaan yang berpusat di otak ini juga berhubungan dengan konasi(kehendak) dan afeksi (perasaan) yang bertalian dengan ranah rasa.[10]
Seorang pakar terkemuka dalam displin psikolgi kognitif dan psikologi anak, jean piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan sebagai berikut.[11]
2.2.1. Sensori-Motorik (0-18 atau 24 bulan)
Piaget berpendapat bahwa dalam perkembangan kognitif selama stadium sensori motorik ini, inteligensi anak baru nampak dalam bentuk aktivitas motorik sebagai reaksi stimulasi sensorik. Dalam stadium ini yang penting adalah tindakan konkrit dan bukan tindakan imaginer atau hanya dibayangkan saja.
2.2.2. Pra-Operasional (± 18 bulan-7 tahun)
Stadium pra-operasional dimulai dengan penguasaan bahasa yang sistematis, permainan simbolis, imitasi (tidak langsung) serta bayangan dalam mental. Semua proses ini menunjukkan bahwa anak sudah mampu untuk melakukan tingkah laku simbolis. Anak sekarang tidak lagi mereaksi begitu saja terhadap stimulus-stimulus melainkan nampak ada suatu aktivitas internal.
Anak mampu untuk berbuat pura-pura, artinya dapat menimbulkan situasi-situasi yang tidak langsung ada. Ia mampu untuk menirukan tingkah laku yang dilihatnya (imitasi) dan apa yang dilihatnya sehari sebelumnya (imitasi tertunda).
Anak dapat mengadakan antisipasi, misalnya sekarang dapat mengatakan bahwa menaranya belum selesai, karena ia tahu menara yang bagaimana yang akan dibuatnya. Ia sekarang mampu untuk mengadakan representasi dunia pada tingkatan yang konkrit.
Berpikir pra-operasional masih sangat egosentris. Anak belum mampu (secara persepsual, emosional-motivational, dan konseptual) untuk mengambil perspektif orang lain. Contoh: anak diajak kelapangan balap mobil. Dilapangan tadi ada 3 buah mobil merah, putih dan biru berjajaran. Bila anak diminta untuk menyebutkan urutan mobil tadi dari sudut pandangan orang lain yang berdiri di seberang sebaliknya, maka ia akan menjawab dari sudut perspektifnya sendiri.
Cara berpikir pra-operasional sangat memusat (centralized). Bila anak dikonfrontasi dengan situasi yang multi-dimensional, maka ia akan memusatkan perhatiannya hanya pada satu dimensi saja dan mengabaikan dimesi-dimensi yang lain dan akhirnya juga mengabaikan hubungannya antara dimensi-dimensi ini. Contoh: sebuah gelas tinggi ramping dan sebuah gelas pendek dan lebar diisi dengan air yang sama banyaknya. Anak ditanya apakah air dalam dua buah gelas tadi sama banyaknya. Anak kebanyakan akan menjawab bahwa ada lebih banyak air dalam gelas yang tinggi ramping tadi karena gelas ini lebih tinggi daripada yang satunya. Anak belum melihat dimensi-dimensi yang lain.
Berpikir pra-operasional adalah tidak dapat dibalik (irreversable). Anak belum mampu untuk meniadakan suatu tindakan dengan memikirkan tindakan tersebut dalam arah yang sebaliknya. Sangat khas bagi anak dalam periode ini adalah percakapan antara orang dewasa dan anak sebagai berikut:
Totok, kau punya saudara | Ya! |
Siapa nama saudaramu | Mita |
Apa Mita punya saudara | Tidak |
Hubungan “Totok punya saudara Mita” bagi anak tidak dapat dibalik.
Berpikir pra-operasional adalah terarah statis. Bila situasi A beralih ke situasi B, maka anak hanya memperhatikan situasi A, kemudian B. Ia tidak memperhatikan transformasi perpindahannya A ke B. Contoh: bila anak diminta untuk menggambarkan suatu tongkat yang sedang jatuh, maka anak mula-mula menggambar tongkat yang berdiri tegak dan kemudian tongkat yang berbaring. Aspek dinamiknya tongkat yang sedang jatuh diabaikan oleh anak.
2.2.3. Operasional Konkrit (7-11 tahun)
Bila anak yang berpikir operasional konkrit harus menyelesaikan suatu masalah maka ia langsung memasuki masalahnya. Ia mencoba beberapa penyelesaian secara konkrit dan hanya melihat akibat langsung usaha-usahanya untuk menyelesaikan masalah itu.
Contoh: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional konkrit mencoba untuk mencari kemungkinan-kemungkinan kombinasi tadi secara tidak sistematis, secara trial and error sampai secara kebetulan ia menemukan kombinasi tsb.
2.2.4. Operasional Formal (mulai 11 tahun)
Tahap operasional formal adalah periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut sampai dewasa. Karakteristik tahap ini adalah diperolehnya kemampuan untuk berpikir secara abstrak, menalar secara logis, dan menarik kesimpulan dari informasi yang tersedia. Dalam tahapan ini, seseorang dapat memahami hal-hal seperti cinta, bukti logis, dan nilai. Ia tidak melihat segala sesuatu hanya dalam bentuk hitam dan putih, namun ada “gradasi abu-abu” di antaranya. Dilihat dari faktor biologis, tahapan ini muncul saat pubertas (saat terjadi berbagai perubahan besar lainnya), menandai masuknya ke dunia dewasa secara fisiologis, kognitif, penalaran moral, perkembangan psikoseksual, dan perkembangan sosial. Beberapa orang tidak sepenuhnya mencapai perkembangan sampai tahap ini, sehingga ia tidak mempunyai keterampilan berpikir sebagai seorang dewasa dan tetap menggunakan penalaran dari tahap operasional konkrit.
Berpikir operasional formal mempunyai dua sifat yang penting:
1. Sifat deduktif-hipotetis: Anak yang berpikir operasional formal, akan bekerja cara lain. Ia akan memikirkan dulu secara teoritis. Ia menganalisis masalahnya dengan penyelesaian berbagai hipotesis yang mungkin ada. Atas dasar analisisnya ini, ia lalu membuat suatu strategi penyelesaian. Analisis teoritis ini dapat dilakukan secara verbal. Anak lalu mengadakan pendapat-pendapat tertentu, juga disebut proposisi-proposisi, kemudian mencari hubungan antara proposisi yang berbeda-beda tadi. berhubung dengan itu maka berpikir operasional formal juga disebut berpikir proporsional.
2. Berpikir operasional formal juga berpikir kombinatoris. Sifat ini merupakan kelengkapan sifat yang pertama dan berhubungan dengan cara bagaimana dilakukan analisisnya. Hal ini dapat digambarkan dengan contoh berikut: pencoba memberikan lima buah gelas berisi cairan tertentu kepada anak. Suatu kombinasi cairan ini membuat cairan tadi berubah warna. Anak diminta untuk mencari kombinasi ini. Anak yang berpikir operasional formal lebih dahulu secara teoritis membuat matriks mengenai segala macam kombinasi yang mungkin; kemudian secara sistematis mencoba setiap sel matriks tsb secara empiris. Bila ia menemukan penyelesaiannya yang betul, maka ia juga akan segera dapat memproduksinya lagi.
Dari contoh ini nampak bahwa berpikir operasional formal memungkinkan orang untuk mempunyai tingkah laku “problem solving” yang betul-betul ilmiah, serta memungkinkan untuk mengadakan pengujian hipotesis dengan variabel-variabel tergantung.
2.3. Perkembangan Sosial dan Moral siswa (psikososial)
Pendidikan, ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya penumbuhkembangan sumberdaya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Berdasarkan hal ini, tentu tak mengherankan apabila seseorang siswa sering menggantungkan responsnya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengan lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.
Seperti dalam proses-proses perkembangan lainnya, proses perkembangan sosial dan moral siswa juga selalu berkaitan dengan proses belajar. Konsekuensinya, kualitas hasil perkembangan sosial siswa sangat bergantung pada kualitas proses belajar (khususnya belajar sosial) siswa tersebut baik dilingkungan sekolah maupun dlingkungan lebih luas. Ini bermakna bahwa proses belajar itu amat menentukan kemampuan siswa dalam bersikap dan berperilaku sosial yang selaras dengan norma moral, agama, moral tradisi, moral hukum, dan norma moral lainnya yang berlaku dalam masyarakat siswa yang bersangkutan.
3. Pengembangan Belajar Siswa
Dari pemaparan diatas tentang kematangan siswa dilihat dari psiko-fisiknya. Kematangan dalam diri siswa adalah suatu wadah yang siap untuk diisi, diolah atau di kembangkan, yang bertujuan menjadikannya produk yang bermutu tinggi.
Pengembangan belajar siswa itu sangat penting dalam menunjang pencapaian tujuan pendidikan yaitu menjadikan anak bangsa cerdas dan berpancasila. Pengembangan belajar siswa itu meliputi pengembangan Aspek kognitif, Afektif dan Psikomotor. Dengan maksud demi menjadikan sumberdaya manusia yang berkualitas dan lebih aplikatif. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan di paparkan tentang pengembangan 3 ranah tadi, Sebagai berikut:[12]
3.1. Aspek Kognitif
Aspek kognitif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan pengetahuan. Artinya kegiatn belajar mengajar beretujuan menambah tingkat pengetahuan dan wawasan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan. Aspek kognitif dapat ditelusuri dari suatu keadaan dimana siswa mendapatkan penambahan pengetahuan dari yang semula tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
Pada dasarnya konsep pembelajaran kognitif disini menuntut adanya prinsip-prinsip utama sebagai berikut.
a. Pembelajaran yang aktif, maksudnya adalah siswa sebagai subyek belajar menjadi factor yang paling utama. Siswa dituntut untuk belajar dengan mandiri secara aktif.
b. Prinsip pembelajaran dengan interaksi social untuk menambah khasanah perkembangan kognitif siswa dan menghindari kognitif yang bersifat egosentris.
c. Belajar dengan menerapkan apa yang dipelajari agar siswa mempunyai pengalaman dalam mengeksplorasi kognitifnya lebih dalam. Tidak melulu menggunakan bahasa verbal dalam berkomunikasi.
d. Adanya guru yang memberikan arahan agar siswa tidak melakukan banyak kesalahan dalam menggunakan kesempatannya untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang positif.
e. Dalam memberikan materi kepada siswa diperlukan penstrukturan baik dalam materi yang disampaikan maupun metode yang digunakan. Karena pengaturan juga sangat berpengaruh pada tingkat kemampuan pemahaman pada siswa.
f. Pemberian reinforcement yang berupa hadiah dan hukuman pada siswa. Saat melakukan hal yang tepat harus diberikan hadiah untuk menguatkan dia untuk terus berbuat dengan tepat, hadiah tersebut bias berupa pujian, dan sebagainya. Dan sebaliknya memberikan hukuman atas kesalahan yang telah dilakukan agar dia menyadari dan tidak mengulangi lagi, hukuman tersebut bias berupa: teguran, nasehat dan sebagainya tetapi bukan dalam hukuman yang berarti kekerasan.
g. Materi yang diberikan akan sangat bermakna jika saling berkaitan karena dengan begitu seseorang akan lebih terlatih untuk mengeksplorasi kemampuan kognitifnya.
h. Pembelajaran dilakukan dari pengenalan umum ke khusus (Ausable) dan sebaliknya dari khusus ke umum atau dari konkrit ke abstrak (Piaget).
i. Pembelajaran tidak akan berhenti sampai ditemukan unsure-unsur baru lagi untuk dipelajari, yang diartikan pembelajaran dengan orientasi ketuntasan.
j. Adanya kesamaan konsep atau istilah dalam suatu konsep bias sangat mengganggu dalam pembelajaran karena itulah penyesuaian integrative dibutuhkan. Penyesuaian ini diterapkan dengan menyusun materi sedemikian rupa, sehingga guru dapat menggunakan hierarki-hierarki konseptual ke atas dan ke bawah selama informasi disajikan.
3.2. Aspek Afektif
Aspek afektif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, ini berarti terhadap matiri pelajaran yang disampaikan siswa meresponnya dengan berbagai ekspresi yang mewakili perasaan mereka. Suatu pelajaran tertentu misalnya akan memancing terbentuknya rasa senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya.
Secara konseptual maupun emprik, diyakini bahwa aspek afektif memegang peranan yang sangat penting terhadap tingkat kesuksesan seseorang dalam bekerja maupun kehidupan secara keseluruhan. Keberhasilan pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotorik dipengaruhi oleh kondisi afektif siswa. Siswa yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Walaupun para guru sadar akan hal ini,namun belum banyak tindakan yang dilakukan guru secara sistematik untuk meningkatkan minat siswa.
Pembelajaran afektif berbeda dengan pembelajaran intelektual dan keterampilan, karena segi afektif sangat bersifat subjektif, lebih mudah berubah, dan tidak ada materi khusus yang harus dipelajari. Hal-hal diatas menuntut penggunaan metode mengajar dan evaluasi hasil belajar yang berbeda dari mengajar segi kognitif dan keterampilan.
Ada beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan.
1. Model Konsiderasi
Manusia seringkali bersifat egoistis, lebih memperhatikan, mementingkan, dan sibuk dan sibuk mengurusi dirinya sendiri. Melalui penggunaan model konsiderasi (consideration model) siswa didorong untuk lebih peduli, lebih memperhatikan orang lain, sehingga mereka dapat bergaul, bekerja sama, dan hidup secara harmonis dengan orang lain.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
Langkah-langkah pembelajaran konsiderasi: (1) menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konsiderasi, (2) meminta siswa menganalisis situasi untuk menemukan isyarat-isyarat yang tersembunyi berkenaan dengan perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain, (3) siswa menuliskan responsnya masing-masing, (4) siswa menganalisis respons siswa lain, (5) mengajak siswa melihat konsekuesi dari tiap tindakannya, (6) meminta siswa untuk menentukan pilihannya sendiri.
2. Model pembentukan rasional
Dalam kehidupannya, orang berpegang pada nilai-nilai sebagai standar bagi segala aktivitasnya. Nilai-nilai ini ada yang tersembunyi, dan ada pula yang dapat dinyatakan secara eksplisit. Nilai juga bersifat multidimensional, ada yang relatif dan ada yang absolut. Model pembentukan rasional (rational building model) bertujuan mengembangkan kematangan pemikiran tentang nilai-nilai. Langkah-langkah pembelajaran rasional: (1) menigidentifikasi situasi dimana ada ketidakserasian atu penyimpangan tindakan, (2) menghimpun informasi tambahan, (3) menganalisis situasi dengan berpegang pada norma, prinsip atu ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, (4) mencari alternatif tindakan dengan memikirkan akibat-akibatnya, (5) mengambil keputusan dengan berpegang pada prinsip atau ketentuen-ketentuan legal dalam masyarakat.
3. Klarifikasi nilai
Setiap orang memiliki sejumlah nilai, baik yang jelas atau terselubung, disadari atau tidak. Klarifikasi nilai (value clarification model) merupakan pendekatan mengajar dengan menggunakan pertanyaan atau proses menilai (valuing process) dan membantu siswa menguasai keterampilan menilai dalam bidang kehidupan yang kaya nilai. Penggunaan model ini bertujuan, agar para siwa menyadari nilai-nilai yang mereka miliki, memunculkan dan merefleksikannya, sehingga para siswa memiliki keterampilan proses menilai.
Langkah-langkah pembelajaran klasifikasi nilai: (1) pemilihan: para siswa mengadakan pemilihan tindakan secara bebas, dari sejumlah alternatif tindakan mempertimbangkan kebaikan dan akibat-akibatnya, (2) mengharagai pemilihan: siswa menghargai pilihannya serta memperkuat-mempertegas pilihannya, (3) berbuat: siswa melakukan perbuatan yang berkaitan dengan pilihannya, mengulanginya pada hal lainnya.
4. Pengembangan moral kognitif
Perkembangan moral manusia berlangsung melalui restrukturalisasi atau reorganisasi kognitif, yang yang berlangsung secara berangsur melalui tahap pra-konvensi, konvensi dan pasca konvensi. Model ini bertujuan membantu siswa mengembangkan kemampauan mempertimbangkan nilai moral secara kognitif.
Langkah-langkah pembelajaran moral kognitif: (1) menghadapkan siswa pada suatu situasi yang mengandung dilema moral atau pertentangan nilai, (2) siswa diminta memilih salah satu tindakan yang mengandung nilai moral tertentu, (3) siswa diminta mendiskusikan/ menganalisis kebaikan dan kejelekannya, (4) siswa didorong untuk mencari tindakan-tindakan yang lebih baik, (5) siswa menerapkan tindakan dalam segi lain.
5. Model nondirektif
Para siswa memiliki potensi dan kemampuan untuk berkembang sendiri. Perkembangan pribadi yang utuh berlangsung dalam suasana permisif dan kondusif. Guru hendaknya menghargai potensi dan kemampuan siswa dan berperan sebagai fasilitator/konselor dalam pengembangan kepribadian siswa. Penggunaan model ini bertujuan membantu siswa mengaktualisasikan dirinya.
Langkah-langkah pembelajaran nondirekif: (1) menciptakan sesuatu yang permisif melalui ekspresi bebas, (2) pengungkapan siswa mengemukakan perasaan, pemikiran dan masalah-masalah yang dihadapinya,guru menerima dan memberikan klarifikasi, (3) pengembangan pemahaman (insight), siswa mendiskusikan masalah, guru memberrikan dorongan, (4) perencanaan dan penentuan keputusan, siswa merencanakan dan menentukan keputusan, guru memberikan klarifikasi, (5) integrasi, siswa memperoleh pemahaman lebih luas dan mengembangkan kegiatan-kegiatan positif.
3.3. Aspek Psikomotor
Aspek psikomotorik dalam pendidikan merupakan aspek yang berhubungan dengan tindakan atau perilaku yang ditampilkan anak didik setelah menerima suatu materi tertentu, artinya mereka bertindak atau berprilaku berdasarkan pengetahuan dan perasaan sesuai atauberdasarkan pengembangan sendiri dari yang disampaikan pendidik.
BAB III
KESIMPULAN
1. Konsep Kematanagan Belajar
(maturity) adalah suatu keadaan atau kondisi bentuk struktur dan fungsi yang lengkap atau dewasa pada suatu organisasi. Sedangkan, belajar adalah suatu proses adaptasi untuk memperoleh perubahan tingkah laku yang relatif menetap sebagai hasil pengalaman dan latihan. Jadi kematangan belajar adalah suatu kondisi fisik dan mental yang matang pada seorang anak dalam penerimaan pengetahuan, pengalaman dan latihan. Kondisi fisik antara lain, kondisi mottorik dan sensorik siswa, seperti menulis dan mendengarkan pengarahan guru. Kondisi mental yaitu berkaitan dengan proses berfikir dan sikap siswa dalam merespons pelajaran.
2. Kematangan siswa sebagai penunjang keberhasilan belajar
Untuk mengetahui kondisi kematangan siswa dalam belajar pada tahap atau jenjang tertentu adalah mengidentifikasi perkembangan psiko-fisik siswa itu sendiri. Antara lain:
a. Perkembangan motorik
Dalam psikologi, kata motor diartikan sebagai istilah yang menunjuk pada hal, keadaan, dan kegiatan yang melibatkan otot-otot dan gerakan-gerakannya. Jadi, perkembangan motorik yaitu proses perkembangan yang progresif dan berhubungan dengan perolehan aneka ragam keterampilan anak.1 Menurut Gleitman, ada 2 bekal yang dibawa anak sejak lahir yaitu bekal kapasitas motor (jasmani) dan bekal kapasitas panca indra (sensorik).
b. Perkembangan kognitif
Istilah kognitif berasal dari kata cognition yang padanannya knowing, berarti mengetahui. Dalam arti luas, cognition (kognisi) sebagai salah satu domain atau wilayah/ranah psikologis manusia yang meliputi setiap perilaku mental yang berhubungan dengan pemahaman, pertimbangan, pengolahan informasi, pemecahan masalah, kesenjangan, dan keyakinan.2 Seorang pakar terkemuka dalam displin psikolgi kognitif dan psikologi anak, jean piaget mengklasifikasikan perkembangan kognitif anak menjadi empat tahapan yaitu tahapan sonsorik-motorik, pra-operasional, operasional konkrit, dan operasional formal operasional.
c. Perkembangan sosial dan moral (sikap)
Pendidikan, ditinjau dari sudut psikososial (kejiwaan kemasyarakatan), adalah upaya penumbuhkembangan sumberdaya manusia melalui proses hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi) yang berlangsung dalam lingkungan masyarakat yang terorganisasi, dalam hal ini masyarakat pendidikan dan keluarga. Berdasarkan hal ini, tentu tak mengherankan apabila seseorang siswa sering menggantungkan responsnya terhadap guru pengajar dan teman-teman sekelasnya. Positif atau negatifnya persepsi siswa terhadap guru dan teman-temannya itu sangat mempengaruhi kualitas hubungan sosial para siswa dengan lingkungan sosial kelasnya dan bahkan mungkin dengan lingkungan sekolahnya.
3. Pengembangan Belajar Siswa
Ada tiga aspek belajar siswa yang harus dikembangkan yaitu:
a. Aspek Kognitif
Aspek kognitif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan pengetahuan. Artinya kegiatn belajar mengajar beretujuan menambah tingkat pengetahuan dan wawasan siswa terhadap materi pelajaran yang disampaikan. Aspek kognitif dapat ditelusuri dari suatu keadaan dimana siswa mendapatkan penambahan pengetahuan dari yang semula tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti.
b. Aspek Afektif
Aspek afektif dalam pendidikan merupakan aspek yang berkaitan dengan perasaan, ini berarti terhadap matiri pelajaran yang disampaikan siswa meresponnya dengan berbagai ekspresi yang mewakili perasaan mereka. Suatu pelajaran tertentu misalnya akan memancing terbentuknya rasa senang, sedih atau berbagai ekspresi perasaan yang lainnya.
Ada beberapa model pembelajaran afektif yang populer dan banyak digunakan, yaitu Model Konsiderasi, Model pembentukan rasional, Klarifikasi nilai, Pengembangan moral kognitif, dan Model nondirektif.
c. Aspek Psikomotor
Aspek psikomotorik dalam pendidikan merupakan aspek yang berhubungan dengan tindakan atau perilaku yang ditampilkan anak didik setelah menerima suatu materi tertentu, artinya mereka bertindak atau berprilaku berdasarkan pengetahuan dan perasaan sesuai atau berdasarkan pengembangan sendiri dari yang disampaikan pendidik.
[1] http://moeslemmuda.blogspot.com/2010/04/perkembangan-peserta-didik.html
[2] Syah, Muhibbin.1999. Psikologi Belajar. Jakarta:Wacana Ilmu,... hal 60
[3] Ibid
[4] Ibid,..61
[5] http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/25/definisi-perkembangan/
[6] Ibid
[7] Syah, Muhibbin.1999. Psikologi Belajar. Jakarta:Wacana Ilmu...hal.12
[8] Ibid
[9] Ibid,,. Hal 13
[10] Ibid....hal 21
[12] http://em-ge.blogspot.com/2009/11/konsep-pembelajaran-kognitif-afektif.html
1 Syah, Muhibbin.1999. Psikologi Belajar. Jakarta:Wacana Ilmu...hal.12
2 Ibid....hal 21
DAFTAR PUSTAKA
http://em-ge.blogspot.com/2009/11/konsep-pembelajaran-kognitif-afektif.html
Syah, Muhibbin.1999. Psikologi Belajar. Jakarta:Wacana Ilmu
GOOD
BalasHapusmantp
BalasHapus