/** Kotak Iklan **/ .kotak_iklan {text-align: center;} .kotak_iklan img {margin: 0px 5px 5px 0px;padding: 5px;text-align: center;border: 1px solid #ddd;} .kotak_iklan img:hover {border: 1px solid #333} CCS

Sabtu, 10 Desember 2011

GRAND STRATEGI INDUSTRI INDONESIA MENUJU TAHUN 2030


BAB I
PENDAHULUAN
Grand strategi atau yang sering kita sebut dengan strategi besar  keberadaannya dipertanyakan. Grand strategi dinilai mampu mengatasi berbagai dampak  akan tetapi Pemerintah dinilai belum memiliki grand strategy (strategi besar) industri yang solid dan terpadu yang didukung departemen maupun instansi terkait. Ketua Asosiasi industri mebel dan kerajinan Indonesia (Asmindo) Kabupaten Jepara Akhmad Fauzi, Selasa (9/6) mengatakan, hingga saat ini belum ada strategi industri yang jelas dari pemerintah, sedangkan departemen atau instansi yang mempunyai strategi dan kebijakan cenderung memiliki agenda sendiri-sendiri dan tidak terpadu.
Fauzi menuturkan strategi besar yang diharapkan tersebut harus dapat mengakomodasi semua persoalan yang dihadapi pelaku usaha dalam menggerakkan sektor industri yang kemudian mampu memberi nilai lebih bagi pendapatan negara. Dia menuturkan selama ini pemerintah belum mempunyai strategi besar ”Kami sebagai pelaku usaha merasa menjadi korban yang akhirnya hanya mampu bertahan sendiri ditengah himpitan krisis ekonomi seperti sekarang ini,” ujarnya.
Menurut dia pemerintah perlu duduk bersama dengan para pelaku usaha untuk merumuskan sektor apa saja yang akan ditonjolkan, kemudian bagaimana menghadapi persaingan global yang kemudian didukung oleh stakeholders terkait. ”Seharusnya ada suatu arahan yang jelas dari pemerintah mengenai strategi besar bidang industri dan perdagangan kita, mau di bawa kemana industri di Indonesia? Mau seperti apa?,” ujarnya. Kurangnya dukungan dan keberpihakan pemerintah terhadap pelaku usaha juga terlihat dari tidak tegasnya pemerintah dalam menentukan besaran suku bunga perbankan
RUMUSAN MASALAH
1.      Sumber Pertumbuhan Ekonomi
2.      Masalah struktural industri indonesia
3.      Masalah ketenagakerjaan
4.      Tantangan sektor industri dan Reformasi Kebijakan Industri
BAB II
GRAND STRATEGI INDUSTRI INDONESIA
MENUJU TAHUN 2030
1.      Konsep Dasar Grand Strategi
Grand strategi berasal dari dua kata, yaitu grand dan strategi. Menurut kamus bahasa inggris, kata grand dapat diartikan  agung atau besar.[1] Sedangkan strategi adalah  pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu.[2]
Dari pengertian diatas tentang grand dan strategi. Dapat disimpulkan bahwa, grand strategi adalah suatu pendekatan secara keseluruhan yang kaitannya dengan pelaksanaan gagasan atau ide, perencanaan, dan pengambil keputusan sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu secara besar-besaran dan keseluruhan.
1.1.   Pentingnya Grand Strategy dalam Penyelamatan Industri Dalam Negeri
Pemerintah harus membuat rancangan grand strategy ekonomi untuk menyelamatkan industri di Tanah Air. Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan strategi besar itu dibutuhkan untuk mengatasi serbuan produk Cina yang mematikan industri dalam negeri. Ketua Umum Kadin, MS Hidayat, mengatakan untuk sanggup bersaing dengan serbuah produk buatan Cina, Indonesia dapat mengejar ketinggalannya dengan memfokuskan pada sektor unggulan tertentu. “Misalnya, karena kita sulit bersaing di sektor otomotif, kita bisa unggul di subsektor otomotif,” jelas Hidayat di Jakarta, akhir pekan lalu.
Menurutnya, ada lima sub sektor industri yang dapat menjadi keunggulan Indonesia. Yakni,
1.      Pertanian
2.      Perkebunan
3.      Perikanan
4.      Tekstil; dan
5.      Garmen.
Kelima sub sector industri diatas, dinilai Hidayat berpotensi mengembangkan kembali industri dalam negeri.
Kalangan pengusaha yang diwakili berbagai asosiasinya mengeluhkan adanya banjir produk-profuk Cina di sejumlah bidang. Produk-produk dari Negeri Tirai Bambu yang masuk pasar Indonesia itu, antara lain, tekstil, barang elektronik, mainan, makanan, minuman, alat tulis kantor, dan pakaian jadi.
            Wakil rakyat di Senayan pun mengungkapkan kekhawatirannya atas masuknya barang-barang dari Cina. Karena itu, mereka mengusulkan agar dibuat pagar-pagar yang melindungi produk dan industri dalam negeri agar tidak tenggelam dan kemudian bangkrut.
            Sejumlah paket yang dikeluarkan belakangan ini, seperti paket kebijakan infrastruktur dan paket perbaikan investasi, menurut mereka, masih belum cukup untuk membangkitkan industri dalam negeri. Lebih jauh Hidayat menjelaskan, setelah fokus kebijakan pemerintah ada, baru kemudian dibuat produk turunan kebijakan tersebut. Dengan begitu, kebijakan di bidang perpajakan, insentif, harmonisasi tarif, dan lainnya tidak bertabrakan. Indonesia, lanjut dia, tidak mungkin unggul di seluruh sektor industri. Untuk itu, diperlukan pemilahan sebagai bagian dari pemfokusan keunggulan apa yang hendak dikembangkan di dalam negeri. “Kadin siap berdiskusi dan memberi bukti sektor mana yang masih dapat diunggulkan,” tuturnya.
Pemerintah diakui Hidayat memang belum memiliki fokus yang menentukan arah kebijakan ekonomi hingga menghasilkan industri yang tangguh. Kebijakan yang dibuat antar departemen pun tidak sinergis. Akibatnya, kebijakan yang diambil terkadang justru merugikan pelaku industri. “Contohnya kakao,” kata Hidayat (G.L Bach, 1968).
Departemen Pertanian menginginkan peningkatan ekspor kakao, sedangkan Departemen Perindustrian menginginkan pemberian pajak kakao. Tujuannya, agar dapat dialihkan ke sektor industri melalui pabrik pengolahan hingga bernilai tambah. Artinya grand strategy tersebut harus dirumuskan oleh Menteri Koordinator Perekonomian.
Saat ini, Komite Pemantauan Peraturan Otonomi Daerah (KPPOD) Kadin sedang menelaah 11 ribu peraturan daerah yang dibuat selama lima tahun terakhir. Sebanyak 5.000-6.000 peraturan daerah tersebut sudah selesai diteliti komite yang terdiri dari elemen Ford Foundation dan Universitas Indonesia. Hasilnya, ada 1.100 peraturan yang harus dihapus atau direvisi karena tumpang tindih dengan peraturan hukum yang lebih tinggi.
Selain membuat peraturan yang sifatnya tumpang tindih, sejumlah peraturan daerah juga bervisi menggenjot pendapatan asli daerah (PAD) hingga menimbulkan ekonomi biaya tinggi. “Ini harus dicabut,” kata Hidayat. 
2.       Sumber Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi yang tertinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan  peningkatan kesejahteraan karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya  kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun maka di butuhkan penambahan pendapatan setiap tahun.
Sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau diukur dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo Klasik), pendekatan sektoral dan pendekatan pengeluaran yang meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih ekspor dengan impor. Dalam pendekatan faktor produksi, sumber pertumbuhan ekonomi dilihat dari faktor-faktor produksi yaitu modal (capital), SDA, tenaga kerja (man power) dan kemajuan teknologi (technology progress). Selanjutnya, untuk melihat sumber pertumbuhan ekonomi dari pendekatan sektoral yaitu dilihat dari sektor-sektor ekonomi. Sektor ekonomi dalam hal ini dapat dibagi dalam 3 sektor saja yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder dan kontruksi serta sektor tersier (jasa-jasa).
2.1.   Sumber Pertumbuhan dengan Pendekatan sektoral
Menganalisis sumber pertumbuhan ekonomi dengan meng-gunakan pendekatan struktural berbeda dengan pendekatan faktor produksi seperti pada teori pertumbuhan Klasik maupun pada teori pertumbuhan Neo-Klasik. Pendekatan struktural didasarkan pada adanya perbedaan produktivitas diantara sektor-sektor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi bukan hanya berasal dari peningkatan secara keseluruhan dari faktor produksi (input), tetapi juga berasal dari pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor produktif. Pembangunan ekonomi harus bertujuan untuk menemukan sektor-sektor yang mempunyai kaitan total paling besar.
Dari penelitian Kuznets tahun 1966 diperoleh hasil bahwa, pada sektor pertanian terjadi pertumbuhan produksi yang melamban dalam pertumbuhan produksi nasional. Sebaliknya tingkat pertumbuhan sektor industri lebih cepat dari tingkat pertumbuhan produksi nasional. Selanjutnya, di sektor jasa tidak terjadi perubahan, artinya pertumbuhan sektor jasa sama dengan pertumbuhan produksi nasional.[3]
Kalau dilihat sejak awal era pemerintahan orde baru hingga sekarang, dapat dikatakan bahwa proses perubahan struktur ekonomi indonesia cukup pesat. Pada tahun 1970, nilai tambah bruto (NTB) dari sektor pertanian, perternakan, kehutanan, dan perikanan menyumbangkan sekitar 45% terhadap pembentukan PDB, dan pada dekade 1990-an hanya tinggal sekitar 16% hingga 20%, dan pada tahun 2006 tinggal sekitar 12,9%. Sedangkan sumbangan output dari industri manufaktur terhadap pembentukan PDB pada tahun 2006 tercatat 28%; jadi sudah lebih besar dari pada pertanian, dan ini jelas mencerminkan bahwa ekonomi nasional telah mengalami suatu perubahan secara struktural dalam 3 dekade belakangan ini. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat bagan berikut ini;[4]
Sektor
2003
2004
2005
2006
Pertanian
15,2
14,3
13,1
12,9
Pertambangan
8,3
8,9
11,1
10,6
Industri manufaktur
28,3
28,1
27,7
28,0
Listrik, gas & air
1,0
1,0
1,0
0,9
Bangunan
6,2
6,6
7,0
7,5
Perdagangan, hotel & restoran
16,6
16,1
15,4
14,9
Tranportasi & komunikasi
5,9
6,2
6,5
6,9
Keuangan, penyewaaan dan Jasa-jasa bisnis
8,6
8,5
8,3
8,1
Jasa lainnya
9,9
10,3
9,9
10,1





PDB
100,0
100,0
100,0
100,0
PDB nonmigas
91,4
90,7
88,6
89,2

Dilihat dari kondisi struktur produksi perekonomian Indonesia, terlihat bahwa perekonomian Indonesia sudah meng-arah pada perubahan struktur ekonomi atau transformasi ekonomi,yakni dari pertanian menuju industri manufaktur. Perubahan struktural dan proses pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dijelaskan dengan mengkaji kontribusi masing-masing sektor ekonomi terhadap pertumbuhan ekonomi yang telah disinggung diatas.
Untuk itu campur tangan pemerintah sangatlah besar pengaruhnya dalam meningkatkan kondisi ekonomi dala negeri. Dengan cara membuat rencana kebijakan yang mendukung indutrialisasi dalam negeri, sehingga kondisi perekonomian negara tetap seimbang.  
3.      Masalah struktural pertumbuhan industri Indonesia  
Laporan Bank Dunia (1993), yang berjudul Industrial Policy-Shifting into  High Gear, menemukan beberapa permasalahan struktural pada industri  Indonesia. Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah: (1) tingginya  tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang  terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi; (2) dominasi  kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan  keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing  di pasar global; (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan  oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan  klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien; (4) struktur industri  Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah;  (5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong  kemajuan teknologi; (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar  domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada  pasar yang diproteksi. [5]
Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) versi SBY-JK, daftar permasalahan struktur industri Indonesia makin panjang. Berikut adalah masalah struktural yang di hadapi industri manufaktur Indonesia.[6]
Pertama, masih sangat tingginya kandungan impor bahan baku, bahan antara, dan komponen untuk seluruh industri, yang berkisar antara 28-30 persen antara tahun 1993-2002. Inilah yang mungkin menjelaskan menapa melemahnya nilai rupiah terhadap dolar tidak langsung menyebabkan kenaikkan ekspor secara signifikan.
Kedua, lemahnya penguasaan dan penerapan teknologi karena industri kita masih banyak yang bertipe “tukang jahit” dan “tukang rakit”. Ini terlihat jelas dalamindustri tekstil dan produk tekstil serta industri elektronika. Pada hal kedua sektor merupakan industri yang padat karya. Meningkatnya upah minimum di berbagai daerah Indonesia menyebabkan Indonesia mulai kehilangan pijakan untuk industri bebasis buruh murah. Hengkangnya perusahaan asing ke Cina dan Vietnam makin sering diberitakan.
Ketiga, Masalah struktural berikutnya adalah rendahnya kualitas SDM, sebagaimana tercermin pada tingkat pendidikan tenaga kerja industri, sehingga menyebabkan rendahnya produktivitas tenaga kerja ndustri. Kemudian belum terintegrasinya UKM di Indonesia dalam satu mata rantai pertambahan nilai dengan industri sekala besar dan kurang sehatnya iklim persaingan karena banyak sebsektor industri yang beroperasi dalam kondisi mendekati monopoli, setidaknya oligopoly, menambah daftar masalah struktural yang dihadapi industri Indonesia.
Kekhawatiran para pelaku industri makin bertambah karena dibebani berbagai kenaikan tarif dan pajak. Kenaikkan harga BBM, tariff listrik, telepon, angkutan, dan harga bahan baku pada tahun 2002-2005 terbukti semakin ‘mencekik leher industri manufaktur. Kondisi lingkungan bisnis domistik cenderung mengakibatkan daya saing produk nasional semakin merosot.
4.      Masalah Ketenagakerjaan
Di pasar tenaga kerja, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang muncul. Pertama, tingkat pengangguran maningkat pesat pascakrisis ekonomi. Kedua, permasalan regulasi keenagakerjaan dan penetapan kontrak adalah masalah terpenting yang berkaitan dengan iklim investasi. Ketiga, pemutusan hubungan kerja sektor riil, khusunya industri yang padat karya, terus berlangsung.
Tidak berlebihan bila para pengusaha dan investor merasa bahwa salah satu permasalahan yang paling, paling dikeluhkan adalah masalah regulasi pasar tenaga kerja, keterampilan dan produktivitas buruh yang rendah, upah buruh yang rendah, upah buruh yang tidak lagi kompetitif di bandingkan Cina atau Vietnam, pesangon dan kesejahteraan buruh, meningkatnya kasus sengketa hubungan industrial, serta semakin militnnya buruh Indonesia. 
Di sisi lain, para buruh merasa khawatir bila revisi UU No 13 tahun 2003 akan menghapus pasal-pasal yang selama ini di anggap proburuh meskipun menimbulkan tambahan biaya di mata pengusaha dan investor. Apalagi dalam situasi dimana ketersediaan suplai tenaga kerja lebih tinggi dibandingkan permintaan tenaga kerja, posisi tawar buruh amat rendah di mata perusahaan.
Dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) SBY-JK, sudah digariskan bahwa perbaikan iklim ketenagakerjaan merupakan bagian agenda meningkatkan kesejahteraan rakyat.


Berbagai sumber menyebutkan ada tiga bidang utama yang mengundang konroversi, antara lain;
1.      Aturan main yang berkaitan dengan rekruitmen, khususnya tentang outsourcing dan penggunaan tenaga kerja kontrak.
2.      Aturan main tentang upah minimum. Siapa yang berwenang menentukan upah minimum.
3.      Aturan main tentang PHK dan pesangon. Perlu diperhitungkan dengan seksama sampai tingkat berapa pesangon cukup kompetitif di Asia.

5.      Tantangan Sektor Industri
Tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah kecenderungan penurunan daya saing industri dipasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan serta belum memadai layanan birokrasi.
Tantangan berikutnya adalah kelemahan struktural sektor industri itu sendiri, seperti masih lemahnya keterkaitan antar industri, baik antara industri hulu dan hilir maupun antara industri besar dengan industri kecil-menengah, belum terbangunnya struktur klaster(indutrial cluster) yang saling mendukung, adanya keterbatasan berproduksi barang setengah jadi dan komponen didalam negeri, keterbatasan industri berteknologi tinggi, kesenjangan kemampuan ekonomi antar daerah, serta ketergantungan ekspor pada beberapa komoditi tertentu.[7]
Sementara itu, tingkat utilisasi kapasitas produksi industri masih rata-rata dibawah 70%, dan ditambah dengan masih tingginya import bahan baku, maka kemampuan sektor industri dalam upaya penerapan tenaga kerja masih terbatas. [8]
Disisi lain, industri kecil dan menengah (IKM) yang memiliki potensi tinggi dalam penyerapan tenaga kerja ternyata memiliki berbagai keterbatasan yang masih belum dapat diatasi dengan tuntas sampai saat ini. Permasalahan utama yang dihadapi oleh IKM adalah sulitnya mendapatkan akses permodalan, keterbatasan sumber daya manusia yang siap, kurang dalam kemampuan manajemen dan bisnis, serta terbatasnya kemampuan akses informasi utuk membaca peluang pasar serta mensiasati perubahan pasar yang cepat.[9]
Dari pemaparan diatas, itu semua adalah permasalahan tantangan yang dihadapi sektor industri indonesia saat ini. Untuk mengatasi permasalahan diatas, yaitu dengan cara sebagai berikut;[10]
1.      Meningkatnya daya saing dan keunggulan kompetitif industri nasional yang mengandalkan pada keterampilan dan kreativitas sumber daya manusia, kemampuan teknologi dan kemampuan manajemen dengan tetap memanfaatkan keungulan komparatif yang dimiliki.
2.      Peningkatan kemampuan tenaga kerja industrial yang ahli dan trampil dalam jumlah dan mutu yang sesuai dengan kebutuhan berbagai jenis industri termasuk mendorong untuk menguasai dan melaksanakan pengalihan berbagai jenis teknologi guna mendukung proses industrialisasi
3.      Menumbuhkan motivasi dan daya kreasi inovatif yang luas serta menciptakan iklim usaha dan persaingan yang sehat termasuk perlindungan hasil inovasi.
4.      Menggerakkan tabungan masyarakat dan menyalurkannya ke arah investasi yang produktif di sektor industri, dan secara efektif mampu memberikan dampak ganda terhadap proses akumulasi modal.
5.      Mengembangkan iklim investasi dan berbagai sistem insentif yang dapat lebih meningkatkan daya tarik investasi di sektor indsutri
6.      Perluasan basis pendukung industri dengan mengembangkan keterkaitan, persebaran, struktur produksi-ekspor-impor sebagai prasyarat terciptanya struktur industri yang kukuh
7.      Membangun perangkat kelembagaan yang mantap sehingga sector industri senantiasa mampu tanggap dan terandalkan dalam menghadapi berbagai perkembangan ataupun perubahan yang timbul
8.      Mengembangkan dan mempercepat pertumbuhan industri kecil dan menengah secara lebih terarah, terpadu dan efektif sehingga menjadi tulang punggung struktur industri nasional
9.      Meningkatkan kemampuan industri kecil dan menengah yang telah mulai berkembang untuk memanfaatkan relokasi industri yang berasal dari negara maju ke Indonesia, khususnya industri skala menengah.
10.  Menentukan pilihan kebijakan yang tepat untuk melaksanakan pembangunan industri yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan dengan pengaturan tata ruang yang tepat.

6.      Reformasi Kebijakan Industri
Peluang emas pada masa pemerintah SBY-JK untuk melakukan perubahan mendasar bagi Indonesia, Antara lain;
Pertama, mengubah sumber pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh konsumsi menjadi digerakkan oleh investasi dan ekspor. Lemahnya perencanaan dan koordinasi peraturan perundangan, baik tingkat vertical maupun tingkat horizontal. Terus terjadi. Oleh karena itu , di perlukan reformasi mendasar yang berkaitan dengan perbaikan iklim bisnis dan investasi  di Indonesia, yang mencakup setidaknya reformasi berikut:
  1. Reformasi Pelayanan Investasi
Dalam hal ini prosedur aplikasi, terlebih dahulu investor harus mendapatkan beberapa persetujuan, perizinan, dan lampu hijau dari BKPM atau BKPMD untuk tahap awal. 
·         Tiga hal utama yang diinginkan oleh investor dan pengusaha yaitu: penyederhanaan sistem dan perizinan, penurunan berbagai pungutan yang tumpang tindih, dan transparansi biaya perizinan.
·         Reformasi dapat dimulai oleh pemerintah pusat atau pemda.


Kedua, para birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih berprilaku sebagai PREDATOR dan belum menjadi fasilitator bagi dunia bisnis.
Ketiga, diperlukan rencana reformasi yang komperehensif dan berjangka menengah, setidaknya 5 tahun kedepan.
Belajar dari perencanaan pembangunan nasional di masa lalu, setidaknya di kenal beberapa kecenderungan.
  1. Belum di masukkannya dimensi spasial dalam perencanaan pembangunan.
  2. Pendekatan sektoral masih lebih menonjol dari regional
  3. Kebijakan pembangunan industri nasional kedepan adalah membangun daya saing industri dengan basis kluster dan kompetensi inti daerah,
  4. Belum dianutnya perencanaan antisifatif terhadap berbagai macam gangguan baik alam maupun manusia.[11]
BAB III
PENUTUP
grand strategi adalah suatu pendekatan secara keseluruhan yang kaitannya dengan pelaksanaan gagasan atau ide, perencanaan, dan pengambil keputusan sebuah aktivitas dalam
Sumber pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah dapat dilihat atau diukur dari tiga pendekatan yaitu, pendekatan faktor produksi (Neo Klasik), pendekatan sektoral dan pendekatan pengeluaran yang meliputi konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah dan selisih ekspor dengan impor. Dalam pendekatan faktor produksi, sumber pertumbuhan ekonomi dilihat dari faktor-faktor produksi yaitu modal (capital), SDA, tenaga kerja (man power) dan kemajuan teknologi (technology progress). Selanjutnya, untuk melihat sumber pertumbuhan ekonomi dari pendekatan sektoral yaitu dilihat dari sektor-sektor ekonomi. Sektor ekonomi dalam hal ini dapat dibagi dalam 3 sektor saja yaitu sektor primer (pertanian dan pertambangan), sektor sekunder dan kontruksi serta sektor tersier (jasa-jasa).
Laporan Bank Dunia (1993), yang berjudul Industrial Policy-Shifting into  High Gear, menemukan beberapa permasalahan struktural pada industri  Indonesia. Permasalahan struktural pada industri Indonesia adalah: (1) tingginya  tingkat konsentrasi dalam perekonomian dan banyaknya monopoli, baik yang  terselubung maupun terang-terangan pada pasar yang diproteksi; (2) dominasi  kelompok bisnis pemburu rente (rent-seeking) ternyata belum memanfaatkan  keunggulan mereka dalam skala produksi dan kekuatan finansial untuk bersaing  di pasar global; (3) lemahnya hubungan intra industri, sebagaimana ditunjukkan  oleh minimnya perusahaan yang bersifat spesialis yang mampu menghubungkan  klien bisnisnya yang berjumlah besar secara efisien; (4) struktur industri  Indonesia terbukti masih dangkal, dengan minimnya sektor industri menengah;  (5) masih kakunya BUMN sebagai pemasok input maupun sebagai pendorong  kemajuan teknologi; (6) investor asing masih cenderung pada orientasi pasar  domestik (inward oriented), dan sasaran usahanya sebagian besar masih pada  pasar yang diproteksi.

Di pasar tenaga kerja, setidaknya ada tiga masalah mendasar yang muncul. Pertama, tingkat pengangguran maningkat pesat pascakrisis ekonomi. Kedua, permasalan regulasi keenagakerjaan dan penetapan kontrak adalah masalah terpenting yang berkaitan dengan iklim investasi. Ketiga, pemutusan hubungan kerja sektor riil, khusunya industri yang padat karya, terus berlangsung.
Tantangan utama yang dihadapi oleh industri nasional saat ini adalah kecenderungan penurunan daya saing industri dipasar internasional. Penyebabnya antara lain adalah meningkatnya biaya energi, ekonomi biaya tinggi, penyelundupan serta belum memadai layanan birokrasi. Dan tantangan berikutnya adalah kelemahan struktural sektor industri itu sendiri.
Peluang emas pada masa pemerintah SBY-JK untuk melakukan perubahan mendasar bagi Indonesia, Antara lain;  Pertama, mengubah sumber pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh konsumsi menjadi digerakkan oleh investasi dan ekspor. Kedua, para birokrat dan pejabat di pusat maupun daerah masih berprilaku sebagai PREDATOR dan belum menjadi fasilitator bagi dunia bisnis. Ketiga, diperlukan rencana reformasi yang komperehensif dan berjangka menengah, setidaknya 5 tahun kedepan.

DAFTAR PUSTAKA
http://amriamir.wordpress.com/2008/09/03/sumber-sumber-pertumbuhan-ekonomi-indonesia/
http://dc346.4shared.com/doc/r3WNWziA/preview.html
http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2052542-tantangan-perkembangan-sektor-industri/
http://misterchandera.wordpress.com/2011/01/26/grand-strategi-industri-indonesia-2030/
Tambunan, Tulus.2001. Perekonomian Indonesia beberapa permasahan penting, Jakarta: Ghalia Indonesia
Tambunan, Tulus.2009. Perekonomian Indonesia.  Bogor:Ghalia Indonesia


[1] http://translate.google.co.id/
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Strategi
[3] http://amriamir.wordpress.com/2008/09/03/sumber-sumber-pertumbuhan-ekonomi-indonesia/
[4] Dr. Tulus T.H Tambunan.2009. Perekonomian Indonesia. Bogor:Ghalia Indonesia,,hal 69
[5] http://dc346.4shared.com/doc/r3WNWziA/preview.html
[6] Ibid
[7] http://www.scribd.com/doc/34197158/6/Tantangan-yang-Dihadapi-Sektor-Industri
[8] Ibid
[9] Ibid
[10] http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2052542-tantangan-perkembangan-sektor-industri/

[11] http://misterchandera.wordpress.com/2011/01/26/grand-strategi-industri-indonesia-2030/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar