KATA
PANGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan
atas kehadirat Allah swt, karena berkat ridho dan kuasa_Nya kami
kelompok 2
telah dapat menyelesaikan tugas makalah dengan judul “ Kondisi
POLEKSOSGAMA Jazirah Arab Pra Islam”.
Yang ditugaskan oleh Bapak Dr.
Munir Subarman,
M.si
sebagai dosen pengampu mata
kuliah Sejarah
Peradaban Islam.
Dalam pembuatan makalah ini, kami
tak luput dari kesalahan dan kekurangan, untuk itu kami mengharapkan
kritik dan saran yang sifatnya mendorong dan membangun kami untuk
menyempurnakan makalah berikutnya.
Meskipun
demikian kami mengharapkan semoga makalah ini dapat bermanfaat
khususnya bagi kami para penulis dan umumnya semua kalangan pembaca.
Cirebon, 12
Febuari
2012
PENULIS
KELOMPOK 2
DAFTAR
ISI
KATA
PENGANTAR……………………………………………………………. i
DAFTAR
ISI……………………………………………………………………. ii
BAB I
- LATAR BELAKANG…………………………………………………… 1
- RUMUSAN MASALAH DAN TUJUAN……………………………..... 2
BAB II PEMBAHASAN
- Kondisi Politik Bangsa Arab Pra Islam……………………………………………….. 3
- Kondisi Ekonomi Masyarakat Arab pra Islam...........……….. …………..... 4
- Kondisi Kehidupan Sosial di Jazirah Arab ...……….……………… 5
- Kondisi Agama Yang Dianut Masyarakat Arab Pra Islam…...…………. 9
BAB
III
PENUTUP.................................................................................... 12
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................. 13
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Mengkaji tentang Islam akan
lebih sempurna bila kita mengkaji Arab pra-Islam terlebih dahulu,
karena Islam lahir di tengah-tengah masyarakat Arab yang sudah
mempunyai adat istiadat yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Apalagi ia muncul di kota terpenting bagi mereka yang menjadi jalur
penting bagi lalu lintas perdagangan mereka kala itu, dan dibawa oleh
Muhammad (570-632 M) yang merupakan salah satu keturunan suku
terhormat dan memiliki kedudukan terpandang di antara mereka secara
turun-temurun dalam beberapa generasi, Quraysh. Quraysh adalah suku
penguasa di atas suku-suku lainnya di Mekah, sebuah kota yang di
dalamnya terdapat bangunan suci tua yang memiliki daya tarik yang
melebihi tempat-tempat pemujaan lainnya di daerah Arab.
Sebagian penulis sejarah
Islam biasanya membahas Arab Pra-Islam sebelum menulis sejarah Islam
pada masa Muhammad (570-632 M) dan sesudahnya. Mereka menggambarkan
runtutan sejarah yang saling terkait satu sama lain yang dapat
memberikan informasi lebih komprehensif tentang Arab dan Islam
tentang geografi, sosial, budaya, agama, ekonomi, dan politik Arab
pra-Islam dan relasi serta pengaruhnya terhadap watak orang Arab dan
doktrin Islam. Kajian semacam ini memerlukan waktu dan referensi yang
tidak sedikit, bahkan hasilnya bisa menjadi sebuah buku tersendiri
yang berjilid-jilid seperti al-Mufaṣṣal
fī Tārīkh al-‘Arab qabla al-Islām karya Jawād ‘Alī. Oleh
karena itu, kita hanya akan mencukupkan diri pada pembahasan
data-data sejarah yang lebih familiar dan gampang diakses mengenai
hal itu.
Untuk melacak asal-usul
orang Arab, mereka merunut jauh ke belakang yaitu pada sosok Ibrahim
dan keturunannya yang merupakan keturunan Sam bin Nuh, nenek moyang
orang Arab. Secara geneaologis, para sejarahwan membagi orang Arab
menjadi Arab Baydah dan Arab Bāqiyah. Arab Baydah adalah orang Arab
yang kini tidak ada lagi dan musnah. Di antaranya adalah ‘Ad,
Thamud, Ṭasm,
Jadis, Aṣhab
al-Ras, dan Madyan. Arab Bāqiyah adalah orang Arab yang hingga saat
ini masih ada. Mereka adalah Bani Qaḥṭān
dan Bani ‘Adnān. Bani Qaḥṭān
adalah orang-orang Arab ‘Áribah (orang Arab asli) dan tempat
mereka di Jazirah Arab. Di antara mereka adalah raja-raja Yaman,
Munadharah, Ghassan, dan raja-raja Kindah. Di antara mereka juga ada
Azad yang darinya muncul Aus dan Khazraj. Sedangkan Bani ‘Adnān,
mereka adalah orang-orang Arab Musta’ribah, yakni orang-orang Arab
yang mengambil bahasa Arab sebagai bahasa mereka. Mereka adalah
orang-orang Arab bagian utara. Sedangkan tempat asli mereka adalah
Mekah. Mereka adalah anak keturunan Nabi Isma’il bin Ibrahim. Salah
satu anak Nabi Isma’il yang paling menonjol adalah ‘Adnān.
Muhammad adalah keturunan ‘Adnān. Dengan demikian beliau adalah
keturunan Isma’il. Menurut Ibnu Hishām (w. 218 H), semua orang
Arab adalah keturunan Isma’il dan Qaḥṭān.
Tetapi menurut sebagian orang Yaman, Qaḥṭān
adalah keturunan Isma’il dan Isma’il adalah bapak semua orang
Arab.
Secara geografis, Jazirah
Arab dibagi menjadi dua bagian. Pertama, jantung Arab. Ia adalah
wilayah yang berada di pedalaman. Tempat paling utama adalah Najd.
Kedua, sekitar Jazirah. Penduduknya adalah orang-orang kota. Wilayah
yang paling penting adalah Yaman di bagian selatan, Ghassan di
sebelah utara, Ihsa` dan Bahrain di sebelah timur, dan Hijaz di
sebelah Barat. Dari sini kita bisa menyimpulkan bahwa sebenarnya apa
yang dimaksud dengan Arab di sini bukanlah daerah di mana penduduknya
berbahasa Arab seperti Mesir, Sudan, Maroko, dan lain-lain tetapi
hanya mencakup dua bagian daerah di atas. Sebelum Islam, Jazirah Arab
dikelilingi oleh dua kekuatan besar dan berpengaruh yang selalu
terlibat peperangan dan berebut pengaruh ke daerah sekitarnya, yaitu
imperium Bizantium pewaris Rumawi sebagai representasi agama Nasrani
dan kekaisaran Persia sebagai representasi agama Majusi.
- Rumusan Masalah
- Bagaimana kondisi politik jazirah arab pra islam?
- Bagaimana kondisi ekonomi masyarakat arab pra islam?
- Bagaimana kondisi sosial pada masyarakat arab pra islam?
- Dan bagaimana kondisi agama yang diyakini masyarakat arab pra islam?
- Tujuan Perumusan Masalah
Menjelaskan
kehidupan masyarakat arab sebelum masuknya islam dilihat dari
politik, ekonomi, sosial dan agamanya. Semoga bermanfaat.!!
BAB
II
- Kondisi Politik Bangsa Arab Pra Islam
Sebelum kelahiran islam,
ada tiga kekuatan politik besar yang perlu dicatat dalam hubungannya
dengan Arab; yaitu kekaisaran
Nasrani
Byzantin
dan kekaisaran
Persia
yang memeluk agama
Zoroaster,
serta Dinasti
Himyar
yang berkuasa di Arab bagian selatan.1
Dalam catatan Rippin,
setidaknya ada dua hal yang bisa dianggap turut mempengaruhi kondisi
politik jazirah Arab, yaitu interaksi dunia Arab dengan dua adi kuasa
saat itu, yaitu kekaisaran Byzantin dan Persia serta persaingan
antara yahudi, beragam sekte dalam agama Nasrani dan para pengikut
Zoroaster.
Di bagian Timur Jazirah Arab, dari kawasan Hirah hingga Iraq, yang
ada hanya daerah-daerah kecil yang tunduk kepada kekuasaan Persia
hingga datangnya Islam. Raja-raja Munadzirah sama sekali tidak
berdiri sendiri dan tidak merdeka, tetapi tunduk secara politis di
bawah kekuasaan raja-raja Persia. Bagian Utara Jazirah Arab sama
dengan bagian Timur, karena di daerah itu juga tidak ada pemerintahan
bangsa Arab yang murni dan merdeka. Semua raja di sini tunduk di
bawah kekuasaan Romawi. Raja-raja Ghasasanah semuanya serupa dengan
raja-raja Munadzirah.2
Sementara itu, di Tengah Jazirah Arab, di mana terdapat tanah suci
Mekkah dan sekitarnya, kaum Adnaniyyin menjadi penguasa yang
independen, tidak dikuasai oleh Romawi, Persia, maupun Habasyah.
Allah telah menjaga kehormatan tanah dan penduduk disana. Bahkan
sejak masa imperialisme Barat yang menjajah dunia Islam, tak ada yang
bisa menguasai negeri suci ini karena Allah telah menjaga
kesuciannya3
Kondisi di
tengah jazirah Arab
yang terlindung oleh gurun-gurun pasir, serta masyarakatnya yang
sebagian besar hidup nomad,
membuat Arab tidak tertaklukkan secara utuh oleh ketiga kekuatan
tersebut. Ditambah lagi adanya beragam suku dengan wilayah dan
pemimpin yang berbeda-beda serta tidak bersatu. tidak mengherankan
jika akhirnya suku-suku terpecah-pecah dan mencari sekutu
sendiri-sendiri. Suku
Hira atau Laknhid di Timur Laut
misalnya, menjadi bawahan kekaisaran Persia, sementara suku
Ghassan
yang tinggal di bagian barat laut, menjadi bawahan kekaisaran
Byzantin. Perang antar suku ini pula yang akhirnya meruntuhkan
Dinasti Himyar di Selatan.
Tradisi kehidupan gurun
yang keras serta perang antar suku yang acap kali terjadi ini
nantinya banyak berkaitan dalam penyebaran ide-ide Islami dalam
al-Qur’an, seperti ”jihad”, ”sabar”, ”persaudaraan”
(ukhuwwah), persamaan, dan yang berkaitan dengan semua itu.
- Kondisi Ekonomi Masyarakat Arab pra Islam
Jazirah Arab pada masa
pra-Islam adalah wilayah yang diapit oleh dua imperium besar:
Byzantium (Romawi) dan Persia. Kekuasaan Byzantium meliputi
wilayah-wilayah di sebelah barat Jazirah, termasuk Syam dan Mesir.
Adapun
kekuasaan Persia meliputi wilayah-wilayah di sebelah timur Jazirah,
termasuk Irak. Tidak ayal lagi, daerah kekuasaan kedua imperium ini
berbatasan satu sama lain di sebelah utara Jazirah. Pada
negeri-negeri batas inilah, masing-masing imperium membentuk
buffer-state.
Kondisi
ekonomi pada masyarakat arab diketahui terbagi menjadi 2 kabilah,
yaitu kabilah Adnan dan kabilah Quraisy. Mayoritas
kabilah Adnan tinggal di tengah gurun pasir dengan rumput yang
sedikit untuk mengembala domba. Mereka hidup dari susu dan dagingnya.
Sedangkan kaum Quraisy yang tinggal di tanah suci mengandalkan
perekonomiannya dari berdagang.4
Sumber ekonomi utama yang menjadi penghasilan orang Arab adalah
perdagangan dan bisnis. Orang-orang Arab di masa jahiliah sangat
dikenal dengan bisnis dan perdagangan-nya. Perdagangan menjadi darah
daging orang-orang Quraisy. Sebagaimana yang Allah sebutkan di dalam
Al-Qur’an.5
“Karena
kebiasaan orang-orang Quraisy, yaitu kebiasaan mereka bepergian pada
musim dingin dan musim panas.” (Quraisy: 1-2)
Mekkah ketika itu adalah salah satu titik transit perdagangan antar
negara. Diluar konteks perdagangan antar negara, Mekkah juga
merupakan pusat berkumpulnya manusia dari
berbagai penjuru Jazirah pada setiap musim haji. Pada kesempatan yang
sama, mereka menggelar Pasar Akbar yang dikenal sebagai Pasar ’Ukaz.
Jadi, seandainya pun Mekkah tidak dilewati jalur perdagangan
internasional, ia tetap ramai oleh para pedagang Jazirah sendiri.6
Secara ekonomi, masyarakat
Mekkah adalah masyarakat yang kapitalis. Diantara mereka terdapat
golongan borjuis, yakni orang-orang dan suku-suku yang kaya dan
terpandang. Mereka pada umumnya individualis dalam hal kekayaan.
Kepedulian mereka relatif rendah terhadap orang-orang dan suku-suku
yang lemah.
Dengan nuansa dagang yang
kental ini, pekerjaan utama penduduk Mekkah ya berdagang itu. Mereka
bukan komunitas petani, karena memang tanah di Mekkah juga tidak
terlalu subur. Meski begitu, mereka tidak pernah kekurangan
bahan-bahan pangan karena mereka selalu mampu memenuhinya dari
perdagangan yang mereka jalankan. Penduduk Mekkah adalah para
pedagang yang cukup handal. Tidak hanya berdagang secara lokal,
mereka juga biasa melakukan ekspedisi dagang ke Syria (Syam) di utara
Jazirah dan ke Yaman di selatan Jazirah.
Mereka
melakukan perjalanan bisnis ke Yaman pada musim dingin dan perjalanan
bisnis ke Syam pada musim panas.
- Kondisi Kehidupan Sosial di Jazirah Arab
Sebagian besar daerah Arab
adalah daerah gersang dan tandus, kecuali daerah Yaman yang terkenal
subur. Wajar saja bila dunia tidak tertarik, negara yang akan
bersahabat pun tidak merasa akan mendapat keuntungan dan pihak
penjajah juga tidak punya kepentingan. Sebagai imbasnya, mereka yang
hidup di daerah itu menjalani hidup dengan cara pindah dari suatu
tempat ke tempat lain. Mereka tidak betah tinggal menetap di suatu
tempat. Yang mereka kenal hanyalah hidup mengembara selalu,
berpindah-pindah mencari padang rumput dan menuruti keinginan
hatinya. Mereka tidak mengenal hidup cara lain selain pengembaraan
itu. Seperti juga di tempat-tempat lain, di sini pun [Tihama, Hijaz,
Najd, dan sepanjang dataran luas yang meliputi negeri-negeri Arab]
dasar hidup pengembaraan itu ialah kabilah. Kabilah-kabilah yang
selalu pindah dan pengembara itu tidak mengenal suatu peraturan atau
tata-cara seperti yang kita kenal. Mereka hanya mengenal kebebasan
pribadi, kebebasan keluarga, dan kebebasan kabilah yang penuh. 7
MAJ. Berg (1993: 12) menyatakan, Bangsa Arab pra-Islam yang
tinggal di jazirah Arab yang sangat luas itu
dapat dibagi ke dalam dua kategori atau kelompok,
yaitu bangsa Arab yang menetap (Hadari) dan pengembara
(Badui) di sekitar gurun pasir.8
Bangsa Arab Hadari (menetap) adalah bagian dari
strata yang sangat kuat. Suku terkemuka dan terkuat dari
kelom pok masyarakat Hadari ini adalah
suku Quraisy. Suku Aristokrasi terkemuka ini sebagian
besar tinggal di kota Mekkah. Dari berbagai suku yang
hidup pada masa Arab purbakala, maka kaum
Quraisy memperoleh hak istimewa sebagai golongan
tertinggi dalam masyarakat. Mereka memiliki
sumber prestise dan kekuasaan yang rapi. Mereka merupakan
pelindung tempat suci, yakni Ka’bah. Mereka juga
kaum bangsawan beragama yang memperoleh prestise pilitik
dan kekayaan, di samping juga dalam dunia perdagangan internasional.
Dari segi status sosial, suku Quraisy menempati khirarchi tertinggi
dari suku lainnya kecuali kaum Thaqiq di
Thaif, karena mereka berada di bawah suku Quraisy. Oleh
MAJ.Berg dikatakan, mereka ini menempatkan diri sebagai
suku terkemuka dalam hierarki sosial bangsa
Arab. Sementara suku-suku non-Quraisy seperti,
Hudhayl, Azd, Banu Hanifah, Bakr bin Wa’il, Aws,
dan Khazraj memiliki status sosial yang rendah, mereka ini
termasuk suku-suku Arab non-Aristokratis (1993: 15)
Suku Nomadis (Badui) berada di bawah suku
yang menetap (Hadari). Mereka ini penduduk yang
tinggal di pedalaman. Sesuai dengan kondisi alamnya yang
gersang dan tandus, mereka tinggal tidak
menetap di suatu daerah secara permanen
tetapi berpindah-pindah, bahkan perpindahan
mereka sangat mobil. Guna kelangsungan hidup,
mereka berpindah-pindah untuk mencari makan terutama
menggembala binatang ternak, seperti kambing, biri-biri, onta,
dan lainnya.
Bagaimanapun
masyarakat Badui hanya memperoleh sedikit
kesempatan untuk meningkatkan moboilitas sosialnya; suku ini
dibentuk atas dasar kekeluargaan di antara para
anggotanya. Untuk itu tiap suku dipimpin oleh
seorang Syekh, bilamana meninggal, maka salah seorang di
antara mereka dipilih untuk menggantikannya.
Keadaan itu menjadikan
loyalitas mereka terhadap kabilah di atas segalanya. Seperti halnya
sebagian penduduk di pelosok desa di Indonesia yang lebih menjunjung
tinggi harga diri, keberanian, tekun, kasar, minim pendidikan dan
wawasan, sulit diatur, menjamu tamu dan tolong-menolong dibanding
penduduk kota, orang Arab juga begitu sehingga wajar saja bila ikatan
sosial dengan kabilah lain dan kebudayaan mereka lebih rendah.
Ciri-ciri ini merupakan fenomena universal yang berlaku di setiap
tempat dan waktu. Bila sesama kabilah mereka loyal karena masih
kerabat sendiri, maka berbeda dengan antar kabilah. Interaksi antar
kabilah tidak menganut konsep kesetaraan; yang kuat di atas dan yang
lemah di bawah. Ini tercermin, misalnya, dari tatanan rumah di Mekah
kala itu. Rumah-rumah Quraysh sebagai suku penguasa dan terhormat
paling dekat dengan Ka’bah lalu di belakang mereka menyusul pula
rumah-rumah kabilah yang agak kurang penting kedudukannya dan diikuti
oleh yang lebih rendah lagi, sampai kepada tempat-tempat tinggal kaum
budak dan sebangsa kaum gelandangan. Semua itu bukan berarti mereka
tidak mempunyai kebudayaan sama-sekali.
Sebagai lalu lintas
perdagangan penting terutama Mekah yang merupakan pusat perdagangan
di Jazirah Arab, baik karena meluasnya pengaruh perdagangannya ke
Persia dan Bizantium di sebelah selatan dan Yaman di sebelah utara
atau karena pasar-pasar perdagangannya yang merupakan yang terpenting
di Jazirah Arab karena begitu banyaknya, yaitu Ukāẓ,
Majnah, dan Dzū al-Majāz yang menjadikannya kaya dan tempat
bertemunya aliran-aliran kebudayaan. Mekah merupakan pusat peradaban
kecil. Bahkan masa Jahiliah bukan masa kebodohan dan kemunduran
seperti ilustrasi para sejarahwan, tetapi ia merupakan masa-masa
peradaban tinggi. Kebudayaan sebelah utara sudah ada sejak seribu
tahun sebelum masehi. Bila peradaban di suatu tempat melemah, maka ia
kuat di tempat yang lain. Ma’īn yang mempunyai hubungan dengan
Wādī al-Rāfidīn dan Syam, Saba` (955-115 SM), Anbāṭ
(400-105 SM) yang mempunyai hubungan erat dengan kebudayaan
Helenisme, Tadmur yang mempunyai hubungan dengan kebudayaan Persia
dan Bizantium, Ḥimyar,
al-Munādharah sekutu Persia, Ghassan sekutu Rumawi, dan penduduk
Mekah yang berhubungan dengan bermacam-macam penjuru.
Fakta di atas menunjukkan
bahwa pengertian Jahiliah yang tersebar luas di antara kita perlu
diluruskan agar tidak terulang kembali salah pengertian. Pengertian
yang tepat untuk masa Jahiliah bukanlah masa kebodohan dan
kemunduran, tetapi masa yang tidak mengenal agama tauhid yang
menyebabkan minimnya moralitas. Pencapaian mereka membuktikan luasnya
interaksi dan wawasan mereka kala itu, seperti bendungan Ma’rib
yang dibangun oleh kerajaan Saba`, bangunan-bangunan megah kerajaan
Ḥimyar,
ilmu politik dan ekonomi yang terwujud dalam eksistensi kerajaan dan
perdagangan, dan syi’ir-syi’ir Arab yang menggugah. Sebagian
syi’ir terbaik mereka dipajang di Ka’bah. Memang persoalan apakah
orang Arab bisa menulis atau membaca masih diperdebatkan. Tetapi
fakta tersebut menunjukkan adanya orang yang bisa mambaca dan
menulis, meski tidak semuanya. Mereka mengadu ketangkasan dalam
berpuisi, bahkan hingga Islam datang tradisi ini tetap ada. Bahkan
al-Quran diturunkan untuk menantang mereka membuat seindah mungkin
kalimat Arab yang menunjukkan bahwa kelebihan mereka dalam bidang
sastra bukan main-main, karena tidak mungkin suautu mukjizat ada
kecuali untuk membungkam hal-hal yang dianggap luar biasa.
Fase
kehidupan bangsa Arab tanpa bimbingan wahyu Ilahi dan hidayah
sangatlah panjang. Oleh sebab itu, di antara mereka banyak ditemukan
tradisi yang sangat buruk. Berikut ini adalah contoh beberapa tradisi
buruk masyarakat Arab Jahiliyah.9
- Perjudian atau maisir. Ini merupakan kebiasaan penduduk di daerah perkotaan di Jazirah Arab, seperti Mekkah, Thaif, Shan’a, Hijr, Yatsrib, dan Dumat al Jandal.
- Minum arak (khamr) dan berfoya-foya. Meminum arak ini menjadi tradisi di kalangan saudagar, orang-orang kaya, para pembesar, penyair, dan sastrawan di daerah perkotaan.
- Nikah Istibdha’, yaitu jika istri telah suci dari haidnya, sang suami mencarikan untuknya lelaki dari kalangan terkemuka, keturunan baik, dan berkedudukan tinggi untuk menggaulinya.
- Mengubur anak perempuan hidup-hidup jika seorang suami mengetahui bahwa anak yang lahir adalah perempuan. Karena mereka takut terkena aib karena memiliki anak perempuan.
- Membunuh anak-anak, jika kemiskinan dan kelaparan mendera mereka, atau bahkan sekedar prasangka bahwa kemiskinan akan mereka alami.
- Ber-tabarruj (bersolek). Para wanita terbiasa bersolek dan keluar rumah sambil menampakkan kecantikannya, lalu berjalan di tengah kaum lelaki dengan berlengak-lenggok, agar orang-orang memujinya.
- Lelaki yang mengambil wanita sebagai gundik, atau sebaliknya, lalu melakukan hubungan seksual secara terselubung.
- Prostitusi. Memasang tanda atau bendera merah di pintu rumah seorang wanita menandakan bahwa wanita itu adalah pelacur.
- Fanatisme kabilah atau kaum.
- Berperang dan saling bermusuhan untuk merampas dan menjarah harta benda dari kaum lainnya. Kabilah yang kuat akan menguasai kabilah yang lemah untuk merampas harta benda mereka.
- Orang-orang yang merdeka lebih memilih berdagang, menunggang kuda, berperang, bersyair, dan saling menyombongkan keturunan dan harta. Sedang budak-budak mereka diperintah untuk bekerja yang lebih keras dan sulit.
- Kondisi Agama Yang Dianut Masyarakat Arab Pra Islam
Paganisme, Yahudi, dan
Kristen adalah agama orang Arab pra-Islam. Pagan adalah agama
mayoritas mereka. Ratusan berhala dengan bermacam-macam bentuk ada di
sekitar Ka’bah. Mereka bahwa berhala-berhala itu dapat mendekatkan
mereka pada Tuhan sebagaimana yang tertera dalam al-Quran. Agama
pagan sudah ada sejak masa sebelum Ibrahim. Setidaknya ada empat
sebutan bagi berhala-hala itu: ṣanam,
wathan, nuṣub,
dan ḥubal.
Ṣanam
berbentuk manusia dibuat dari logam atau kayu. Wathan juga dibuat
dari batu. Nuṣub
adalah batu karang tanpa suatu bentuk tertentu. Ḥubal
berbentuk manusia yang dibuat dari batu akik. Dialah dewa orang Arab
yang paling besar dan diletakkan dalam Ka’bah di Mekah. Orang-orang
dari semua penjuru jazirah datang berziarah ke tempat itu. Beberapa
kabilah melakukan cara-cara ibadahnya sendiri-sendiri. Ini
membuktikan bahwa paganisme sudah berumur ribuan tahun. Sejak
berabad-abad penyembahan patung berhala tetap tidak terusik, baik
pada masa kehadiran permukiman Yahudi maupun upaya-upaya kristenisasi
yang muncul di Syiria dan Mesir. 10
Yahudi dianut oleh para
imigran yang bermukim di Yathrib dan Yaman. Tidak banyak data sejarah
tentang pemeluk dan kejadian penting agama ini di Jazirah Arab,
kecuali di Yaman. Dzū Nuwās adalah seorang penguasa Yaman yang
condong ke Yahudi. Dia tidak menyukai penyembahan berhala yang telah
menimpa bangsanya. Dia meminta penduduk Najran agar masuk agama
Yahudi, kalau tidak akan dibunuh. Karena mereka menolak, maka
digalilah sebuah parit dan dipasang api di dalamnya. Mereka
dimasukkan ke dalam parit itu dan yang tidak mati karena api, dibunuh
dengan pedang atau dibuat cacat. Korban pembunuhan itu mencapai dua
puluh ribu orang. Tragedi berdarah dengan motif fanatisme agama ini
diabadikan dalam al-Quran dalam kisah “orang-orang yang membuat
parit”.
Adapun Kristen di Jazirah
Arab dan sekitarnya sebelum kedatangan Islam tidak ternodai oleh
tragedi yang mengerikan semacam itu. Yang ada adalah pertikaian di
antara sekte-sekte Kristen yang meruncing. Menurut Muḥammad
‘Ᾱbid
al-Jābirī, al-Quran menggunakan
istilah “Naṣārā”
bukan “al-Masīḥīyah”
dan “al-Masīḥī”
bagi pemeluk agama Kristen. Bagi pendeta Kristen resmi (Katolik,
Ortodoks, dan Evangelis) istilah “Naṣārā”
adalah sekte sesat, tetapi bagi ulama Islam mereka adalah
“Ḥawārīyūn”.
Para misionaris Kristen menyebarkan doktrinnya dengan bahasa Yunani
yang waktu itu madhhab-madhhab filsafat dan aliran-aliran gnostik dan
hermes menyerbu daerah itu. Inilah yang menimbulkan pertentangan
antara misionaris dan pemikir Yunani yang memunculkan usaha-usaha
mendamaikan antara filsafat Yunani yang bertumpu pada akal dan
doktrin Kristen yang bertumpu pada iman. Inilah yang melahirkan
sekte-sekte Kristen yang kemudian menyebar ke berbagai penjuru,
termasuk Jazirah Arab dan sekitarnya. Sekte Arius menyebar di bagian
selatan Jazirah Arab, yaitu dari Suria dan Palestina ke Irak dan
Persia. Misionaris sekte ini telah menjelajahi penjuru-penjuru
Jazirah Arab yang memastikan bahwa dakwah mereka telah sampai di
Mekah, baik melalui misionaris atau pedagang Quraysh yang mana mereka
berhubungan terus-menerus dengan Syam, Yaman, da Ḥabashah.
Tetapi salah satu sekte yang sejalan dengan tauhid murni agama samawi
adalah sekte Ebionestes.
Salah satu corak beragama
yang ada sebelum Islam datang selain tiga agama di atas adalah
Ḥanīfīyah,
yaitu sekelompok orang yang mencari agama Ibrahim yang murni yang
tidak terkontaminasi oleh nafsu penyembahan berhala-berhala, juga
tidak menganut agama Yahudi ataupun Kristen, tetapi mengakui keesaan
Allah. Mereka berpandangan bahwa agama yang benar di sisi Allah
adalah Ḥanīfīyah,
sebagai aktualisasi dari millah Ibrahim. Gerakan ini menyebar luas ke
pelbagai penjuru Jazirah Arab khususnya di tiga wilayah Hijaz, yaitu
Yathrib, Ṭaif,
dan Mekah. Di antara mereka adalah Rāhib Abū ‘Ámir, Umayah bin
Abī al-Ṣalt,
Zayd bin ‘Amr bin Nufayl, Waraqah bin Nawfal, ‘Ubaydullah bin
Jaḥsh,
Ka’ab bin Lu`ay, ‘Abd al-Muṭallib,
‘As’ad Abū Karb al-Ḥamīrī,
Zuhayr bin Abū Salma, ‘Uthmān bin al-Ḥuwayrith.
Tradisi-tradisi warisan
mereka yang kemudian diadopsi Islam adalah
penolakan untuk menyembah berhala, keengganan untuk berpartisipasi
dalam perayaan-perayaan untuk menghormati berhala-berhala,
pengharaman binatang sembelihan yang dikorbankan untuk
berhala-berhala dan penolakan untuk memakan dagingnya, pengharaman
riba, pengharaman meminum arak dan penerapan vonis hukuman bagi
peminumnya, pengharaman zina dan penerapan vonis hukuman bagi
pelakunya, berdiam diri di gua hira sebagai ritual ibadah di bulan
rama
an dengan memperbanyak
kebajikan dan menjamu orang miskin sepanjang bulan rama
an, pemotongan tangan
pelaku pencurian, pengharaman memakan bangkai, darah, dan daging
babi, dan larangan mengubur hidup-hidup anak perempuan dan pemikulan
beban-beban pendidikan mereka.
BAB
III
PENUTUP
Penjelasan di atas
mengisyaratkan bahwa cara hidup orang Arab pra-Islam terbagi menjadi
dua. Pertama, masyarakat madani yang bertani dan berdagang. Kedua,
bersatu dalam kebiasaan-kebiasaan kabilah-kabilah pengembara yang
banyak bertumpu pada peraturan-peraturan yang telah ada. Corak yang
pertama dianut masyarakat perkotaan atau mereka yang telah mencapai
peradaban lebih tinggi terutama Yaman, sementara corak kedua dianut
oleh masyarakat badui yang diwakili oleh daerah Hijaz dan sekitarnya.
Sebagian orang terlalu berlebihan dalam menyikapi tradisi-tradisi
Arab sebelum Islam. Seakan-akan semua tradisi mereka jelek. Padahal
sebagian tradisi mereka diadapsi oleh Islam dan tetap dipertahankan
hingga sekarang, seperti pengagungan Ka’bah dan tanah suci, haji
dan umrah, sakralisasi bulan rama
an, mengagungkan
bulan-bulan ḥaram,
penghormatan terhadap Ibrahim dan Isma’il, pertemuan umum hari
jum’at. Islam tidak arogan dalam menyikapi tradisi-tradisi yang
sudah ada, tetapi ia mengadopsi sebagian tradisi tersebut dan
mengadapsi sebagian yang lain sesuai dengan prinsip-prinsip dasar
Islam.
Allah memilih Mekah untuk
menurukan Islam dan memilih Muhammad sebagai pembawanya. Dua hal ini
sangat penting karena letak Mekah yang strategis dan nasab dan
pribadi beliau yang terpandang memungkinkan Islam lebih cepat
diterima dan tersebar ke segenap penjuru, terutama masyarakat kelas
bawah yang ingin bebas dari belenggu-belenggu sosial yang cenderung
diskriminatif terhadap mereka.
DAFTAR
PUSTAKA
Http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/kondisi-sosial-politik-dan-agama-arab.html
Http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
Http://khasbullah3.blogspot.com/2011/06/kondisi-bangsa-arab-pra-islam.html
Http://sejarahperadabanislam.wordpress.com/2011/09/27/ringkasan-sejarah-klasik-pra-islam-dan-kondisi-ekonomi-bangsa-arab/
Http://menaraislam.com/content/view/97/44/
Http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-arab-pra-islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/
1
http://indonesia-admin.blogspot.com/2010/02/kondisi-sosial-politik-dan-agama-arab.html
2
http://mahluktermulia.wordpress.com/2010/05/13/kondisi-bangsa-arab-pra-islam/
3
Ibid
4
http://khasbullah3.blogspot.com/2011/06/kondisi-bangsa-arab-pra-islam.html
5
http://sejarahperadabanislam.wordpress.com/2011/09/27/ringkasan-sejarah-klasik-pra-islam-dan-kondisi-ekonomi-bangsa-arab/
7
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-arab-pra-islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/
10
http://msubhanzamzami.wordpress.com/2010/10/18/kondisi-arab-pra-islam-dalam-aspek-sosial-budaya-agama-ekonomi-dan-politik/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar